Kamis, 14 April 2011


MENGGANTUNG
Untuk ketiga kalinya Gania meraih dan mematikan alarm yang sudah tiga kali juga sukses mengganggu mimpi indahnya. Sebelum dering keempat, Gania meraih alarm yang di atur untuk berbunyi setiap lima belas menit sekali ini dan mematikannya. Sambil beranjak menuju kamar mandi dibukanya Handphone yang sudah semalam dia biarkan tergeletak di meja kerjanya, hanya ada gambar hasil jepretannya Minggu lalu di Kota Tua yang dipasang sebagai wallpaper. Kosong.   Aroma nasi goreng buatan sang ayah yang selalu membuat Gania melupakan program dietnya menyeruak ke kamarnya dan mengurungkan niatnya untuk langsung menghabiskan sisa tiga perempat jam waktunya di bathub sebelum pergi ke kantor. Sambil  berlari Gania melemparkan handuk yang sedari tadi melingkar di lehernya.
“Pagi sayang,” ayahnya sambil tersenyum pada Gania yang sedang memasuki dapur berarsitektur Belanda itu.
“Pagi juga, Pa,” jawab Gania sambil menuang susu steril yang dibelinya di Mall dekat kantornya kemaren sore.
“Nggak ngantor? Kok jam segini baru bangun?.”
“Ngantor, Pa. Ada meeting dengan redaktur dan pemimpin redaksi pukul 09.00, jadi sekalian berangkat nanti aja.”
“Ini, sarapan dulu,” papanya menyodorkan sepiring nasi goreng lengkap dengan mentimun dan telur mata sapi setengah matang, favorit Gania.
“Makasih, Pa,” jawab Gania singkat, langsung melahap sarapan paginya itu.
Setelah membereskan meja makan dan mencuci piring, Gania langsung beranjak ke kamar mandi di kamarnya dan bersiap-siap untuk pergi ke Starbuck di salah satu kawasan bisnis di Jakarta untuk memenuhi janjinya dengan Redaktur dan Pemimpin Redaksi majalah dimana dia bekerja. Penghasilannya sebagai sebagai penulis novel dan perusahaan garment milik ayahnya sebenarnya bisa menghidupi mereka yang hanya tinggal berdua tanpa harus bekerja lagi sebagai editor, tapi Gania tidak ingin diam di rumah dan menghabiskan waktu di mall sambil membuat kartu kreditnya mulus karena sering digosok di mesin kasir. Menurutnya dengan bekerja dia bisa mendapat inspirasi untuk novelnya. Terkadang dia pun rela tidur bersama anak-anak jalanan demi research untuk bukunya. Ya, begitulah Gania, sedikit idelalis.
Pertemuan yang membahas majalah untuk edisi selanjutnya akhirnya berakhir sudah, Gania keluar sambil melemaskan kedua kakinya yang sejak tiga jam tadi tidak melakukan gerakan berarti selain silang, lurus, silang lagi. Sambil berlari kecil menuju kantornya yang memang hanya beberapa blok dari Starbuck, sesekali dia memainkan gerimis yang mulai turun membasahi rambut panjang ikalnya yang hari ini sengaja digerai. Masih satu setengah blok di depannya yang harus dia lewati tapi hujan lebat lebih dulu mengguyur memaksanya harus mencari tempat berteduh, karena kebetulan juga hari  itu Gania tidak mebawa payung kecil yang biasanya selalu bertengger di tas kulit merah keluaran Channel bulan kemarin miliknya.
“Hujannya gak berhenti-berhenti ya?” tiba-tiba suara seorang laki-laki, yang familiar di telinga Gania, mengagetkan Gania yang sedang mamandangi jalanan menunggu hujan reda.
“Eh iya,” jawabnya singkat sambil menoleh dan tersenyum tipis, kembali memandangi jalan, tidak tertarik melanjutkan pembicaraan yang lebih panjang dengan lelaki dengan kamera Canon yang dikalungkan di lehernya dan ID Card yang menunjukkan bahwa mereka dari satu tempat kerja yang sama.
Gania dengan background beberapa potong garbera merah yang tertinggal di lantai depan pintu florist tempat mereka berteduh dan sinar matahari yang disertai hujan menimbulkan suasana yang sedikit temaram menciptakan pemandangan yang membuat tangan Indra, lelaki yang mencoba menciptkan obrolan dengan Gania tapi gagal, untuk melakukan jepretan-jepretan handalnya dengan salah satu kamera kesayangannya itu.
‘jprreeett..’
‘jprretttt….’
‘jpreettt…’
Tidak tanggung-tanggung, sekejap saja puluhan foto sudah membuat memory di kameranya berkurang.  Puas.
“Eh… Eh… Apa-apaan sih,” Gania yang merasa terganggu dengan jepretan-jepretan yang diarahkan padanya tanpa seizinnya mencoba berontak.
“Keren kok, coba nih lihat,” memperlihatkan hasil jepretannya kepada Gania.
Dengan sedikit terpaksa Gania melihat gambar dirinya yang diambil dari belakang dengan background florist yang sudah tutup dengan beberapa garbera dan beberapa orang di sampingnya yang disodorkan kepadanya, keren juga... Batinnya.
“Ow...,” Gania berusaha menyembunyikan kekagumannya.
“Gimana hasil meeting tadi,” tanya Indra, sengaja membiarkan Gania tidak berusaha lebih keras lagi.
“Kok tahu kalau gue habis meeting?” merasa heran darimana Indra bisa tahu tentang rapat hari ini dan mencoba mengusir kebosanan yang mulai melandanya karena hampir satu jam dia terjebak hujan lebat, mencoba menanggapi obrolan mereka.
“Lupa?? gue kan penanggung jawab bagian fotografer, jadi...,” membiarkan jawabannya menggantung karena Gania pasti sudah tahu jawabannya.
Gania yang merasa malu dengan pertanyaan bodohnya tadi hanya tersenyum tipis. Kenapa gue bisa lupa sih, bukannya setiap akan ada penerbitan selalu ada meeting kaya gini. Tapi dia kan gak pernah datang, jadi bukan salah gue dong kalau gue lupa. Mencoba melakukan pembelaan atas kebodohannya.
“Emang sih, gue jarang banget ikut meeting-meeting kaya gitu... mau tahu kenapa? Karena gue males dengerin mereka yang sok berkuasa gitu, berani taruhan lu juga mikir kaya gitu. Dan sayangnya mereka terlalu sayang buat mecat fotografer macem gue,” kata Indra sedikit sombong.
Gania hanya menanggapi dengan memandangi Indra, dalam hati membenarkan taruhan Indra dan kesombongannya. Sebenarnya kali ini dia ingin menanggapi, sayangnya dia sudah terlanjur sebal dengan hujan yang membuatnya hampir sejam berdiri di depan florist yang sudah tutup karena pemiliknya sedang menghadiri hajatan.
Setelah menunggu dua jam akhirnya hujan mulai mereda, baju Gania yang sudah basah dan moodnya yang sudah rusak membuat Gania memutuskan untuk langsung pulang tanpa mampir ke kantor. Taksi yang ditumpanginya mulai menepi ketika sudah memasuki komplek yang masih hijau dengan pohon di kanan kirinya dan berhenti di sebuah rumah putih berlantai dua yang terletak di kiri jalan. Mendapati rumahnya kosong Gania langsung menuju kamar mandi di kamarnya untuk membersihkan diri dan siap untuk pergi lagi. Selesai menali sepatu League birunya, diraihnya kamera Lomo yang dia simpan di laci meja kerja di seberang tempat tidurnya itu. Gania meninggalkan rumahnya dengan mobil jip terbuka yang sering ia gunakan untuk berburu foto, menyalurkan hobinya, setelah menutup garasinya. Hampir sejam Gania berputar-putar mencari tempat yang akan menjadi sasaran bidikannya, akhirnya Gania menepikan mobilnya di sebuah perkampungan kumuh di dekat TPS Cileungsi, dimana hampir seluruh sampah warga Jakarta berkumpul disini.
Sasaran bidiknya kali ini ditujukan kepada beberapa kelompok anak yang bermain di sekitar gunungan sampah. Beberapa kali Gania memindahkan sasaran bidiknya, tapi pandangannya terhenti ketika melihat sekumpulan anak yang berkumpul di sebuah gubug kecil dengan seseorang yang lebih dewasa beridiri di depan mereka dan seperti menuliskan sesuatu di papan yang tergantung di dinding kardus di depan anak-anak tadi.
Gania yang merasa familiar dengan lelaki itu terus mengamati, Indra?. Gania mengangkat Lomo yang tergantung di lehernya dan membidik mereka dengan perbesaran maksimal untuk memastikan dugaannya, tanpa harus mendekat. Merasa diawasi, lelaki itu menoleh kearah Gania dan tampak dari kejauhan dia sedang menuju tempat Gania berdiri.
“Gania?” lelaki itu mendahului menyapa.
“Indra? Ternyata itu beneran lu?” jawabnya sedikit ramah, berbeda dengan pertemuannya siang tadi.
“Emm... iya,” jawab Indra dengan menggaruk kepala bagian belakangnya. Sedikit tertegun dengan penampilan Gania yang sangat berbeda dari sebelumnya, wanita dengan setelan baju kerja lengkap dengan blazer dan stilleto merah menunjukkan kesempurnaan seorang wanita feminim bermetamorfosis menjadi wanita dengan celana jeanz dengan kaos yang dilapisi dengan kemeja yang dilipat lengannya serta sepatu Legue biru dan tak ketinggalan dengan rambut ikalnya yang diikat tinggi.
“Hello... Kok nglamun sih?” Gania membuyarkan lamunan Indra.
“Eh, enggak. Gue heran aja... ternyata lu suka motret juga?” Indra menjawab dengan terbata-bata.
Mereka pun melanjutkan obrolan hingga langit berubah menjadi hitam kemerahan memaksa mereka menyelesaikan obrolan mereka dan pulang setelah bertukar  nomor handphone dan membuat janji untuk bertemu di pameran buku yang akan diadakan tiga hari lagi, untuk meliput berita dan mencari sasaran bidik tentunya.
Beep...
Beep...
Handphone Gania bergetar menunjukkan ada pesan yang masuk tepat ketika Gania meletakkan seluruh barang bawaanya di meja. Karena sudah lelah, Gania memutuskan untuk langsung mandi dan membuka SMS nanti.
Ternyata pesan tersebut dari Indra dan acara berSMSan mereka berlanjut sampai Gania tertidur tanpa sempat membalas SMS Indra lagi.
Hari yang ditunggu datang, sesuai perjanjian Indra datang menjemput Gania yang sudah menunggu untuk meluncur  ke pameran buku dengan motor merahnya. Tanpa kesulitan Indra menemukan rumah Gania yang sangat mudah dikenali karena penelasan yang sangat detail dan sam persis dengan yang dijelaskan Gania di telepon.
Setelah sempat berpisah mereka bertemu lagi di pintu masuk gedung pameran tersebut dan melanjutkan penjelahan berdua. Sepanjang perjalanan mereka mengelilingi tempat tersebut, mereka tak lepas dari obrolan dan tawa hingga tanpa mereka sadari hujan lebat turun, menghalangi mereka yang sebenarnya sudah berniat untuk pulang. Karena sudah bosan berkeliling di dalam, doa orang yang banyak membuat orang mengira mereka sepasang kekasih ini memutuskan untuk mengelilingi luar gedung yang digunakan untuk pameran buku terbesar yang pernah diadakan di kota mereka.
Menemukan pemandangan yang sayang untuk dilewatkan untuk di foto, dengan spontan Indra menarik tangan Gania yang berjalan di sampingnya. Indra yang tanpa sadar telah membuat Gania tertegun dan perasaannya bercampur aduk, langsung mengarahkan kameranya kesana. Sasaran Indra selanjutnya adalah Gania yang ikut mengambil gambar dengan obyek yang sama dengan Indra tadi.
“Ih... Apaan sih,” Gania yang belum terbiasa dengan kebiasaan Indra, berontak.
Namun Indra hanya menanggapi dengan mengacak-acak poni Gania yang menutupi seluruh dahinya dengan manja.
“Mas mas, permisi... bisa minta tolong ambilin gambar kita nggak?” Indra menghentikan lelaki yang lewat di depan mereka untuk meminta bantuan mengambil foto mereka. Setelah mendapatkan jawaban yang berarti ’iya’, Indra menyerahkan kameranya pada lelaki itu.
Mereka meninggalkan tempat itu tepat pukul 17.45, membatalkan rencana mereka untuk ngeteh di bersama. Sesampai dirumah masing-masing, mereka berdua langsung mandi. Gania yang langsung melaksanakan shalat magrib mengabaikan handphonenya yang bergetar, dengan sabar si pengirim pesan yang ternyata adalah Indra itu menunggu Gania membuka SMS yang dia kirim karena dia tahu apa yang dilakukan Gania.
Sambil membalas SMS yang Indra kirim, Gania melihat hasil jepretannya yang sudah dipindahkan ke PCnya. Obrolan via SMS itu pun berlanjut sampai hubungan yang mereka sendiri tidak tahu sebutannya. Gania juga sudah hafal kegiatan Indra dari do’a malam, jadwal gereja Sabtu dan Minggu sampai kapan Indra harus ke gereja pusatnya.
Sosok Indra yang sangat tepat untuk seorang Gania yang super sibuk dan butuh tempat sharing, membuat hubungan mereka mengalir begitu saja. Obrolan mereka didominasi dengan sharing dan motivasi yang membangun  dari masing-masing pihak. Hanya satu yang membuat hubungan mereka tetap jalan di tempat, agama. Indra yang merupakan sosok kristiani yang sangat taat dan Gania yang teguh dengan agamanya membuat Indra tak bergeming setiap kali Gania meminta kepastian tentang hubungan mereka.
Tiga bulan lebih mereka menjalani hubungan seperti ini, Gania selalu mengingat kata-kata Indra ketika hatinya berontak. ‘Biarkan Tuhan berkarya dalam indah-Nya, semua akan menjadi indah pada waktunya’, Gania selalu tersenyum sendiri bila mengingat ketika Indra mengatakan hal itu dengan senyum manis dan hobinya mengacak-acak rambut Gania.
Mereka menjalani hubungan mereka begitu saja, tanpa ingin merusak suasana dan kebahagiaan mereka dengan pertanyaan tentang kepastian hubungan mereka. Walaupun kadang Gania ingin, namun dia terlalu takut hubungan mereka berakhir.
Tiga hari terakhir Gania didera perasaan aneh yang dia sendiri pun tak bisa mendefinisikannya. Gania mencoba menafsirkan perasaannya itu, namun sampai hari keempat rasa itu masih menderanya dan dia belum juga menemukan jawabannya. Di hari ke empat itu juga perasaann anehnya memuncak, tiba-tiba saja ia tertegun ketika lewat seorang ibu yang menggendong bayi lewat di depannya, dia juga tak tahu kenapa.

Sabtu, 12 Februari 2011

_pERpisahan.....

seorang sahabat pernah berkata kepadaku..
"Kita tidak akan merasa kehilangan, apabaila kita tidak pernah memilki..."


Perpisahan...
memang hal yang sang sangat berat
tapi bersyukurlah...
setidaknya kau pernah bersamanya
karena kita tidak akan merasa kehilangan
apabila kita tidak pernah memiliki

hal yang selalu kusadari dari awal
namun entah kenapa
masih membuat dadaku sesak karenanya


Rabu, 02 Februari 2011

.::HujAN::.

Sebuah anugrah Tuhan...
Yang tunjukkan keagunganNya...
Sebuah moment yang tak pernah kulewatkan dan kulupakan setiap kenangannya....


  


Dan aku begitu menyukai hujan...
karena hujan adalah....













KeBERSamaN....




                                kENaNGan....






....bersama hujan kebersamaan dan kenangan itu akan slalu tersimpan di hatiku....



Kamis, 02 Desember 2010

...::mAKin SuSaH aja::...

hahhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!! masalah ga ada udahnya....
Loe jg, maunya gue terus yang ngertiin ga mw ngertiin gue...
ulangan makin deket, deadline liputan waktunya juga tinggal besok... susaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!

Sabtu, 27 November 2010

"KosONg"

bagai sebuah lubang besar yang menganga didadaku...
kosong...
dengan jantung yang masih bedetak dan paru-paru yang yang masih bekerja dengan sempurna
namun tetap saja, aku merasa kosong..
lubang itu...
lubang yang ada seiring kepergianmu
lubang yang tak akan bisa kembali tertutup
lubang yang akan terus menganga kosong
lubang yang membuatku merasakan kesakitan yang amat sangat pedih hingga sering kali aku menderita mati rasa
ya mati rasa...
kosa kata baru dalam hidupku
kosa kata yang dapat menggambarkan diriku sekarang...
mati rasa ini..
mati rasa untuk semuanya...

_sATu jam SajA_

jangan berakhir aku tak ingin berakhir
satu jam saja ku ingin diam berdua
mengenang yang pernah ada

jangan berakhir karna esok takkan lagi
satu jam saja hingga ku rasa bahagia
mengakhiri segalanya

tapi kini tak mungkin lagi
katamu semua sudah tak berarti
satu jam saja itu pun tak mungkin
(tak mungkin lagi) tak mungkin lagi

jangan berakhir ku ingin sebentar lagi
satu jam saja izinkan aku merasa
rasa itu pernah ada

jangan berakhir karna esok takkan lagi
satu jam saja hingga ku rasa bahagia
mengakhiri segalanya

tapi kini tak mungkin lagi
katamu semua sudah tak berarti (tak berarti)
satu jam saja itu pun tak mungkin (tak mungkin)
tak mungkin lagi wooo

jangan berakhir ku ingin sebentar lagi
satu jam saja izinkan aku merasa
rasa itu pernah ada
(izinkan aku merasa) rasa itu pernah ada

by: Audy/ Lala Karmela

..:miNGgu kELabU:..

kisah sedih dihari minggu...
yang slalu menyiksaku....
hahaha.... itu lagu kebesaranku setiap akhir pekan,,
yaaaaaaaa..... setelah mlewati 1minggu penuh + berbagai kesialan di dalamnya, nampaknya hari ini bukan hari yang akan menutup kesialan ini...
ayooooo kita absen kesialanku...
senin_ga begitu sial siiihhhhh, cuma ada cekcok kcl sama si dia, tapiiiiiiiiiii sorenyaaaaaaaaaa..... abiz lthn gitar ama sang mantan, teruz maen bentar ke rumah tmen lama...... dia maen lagi kerumahku lhooo, pertama kali setelah kita putus dua tahun lalu.... hahaahah
selasa_monoton....... banyak insiden kcil yang yaaaaaaa cukup bikin meringis kesakitan.
rabu_ada guru yang nyebeliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiin banget...
kamis_ada tes IQ yang bkin tangan ma otak capek gak ketulungan,,,
JUMAT_ada pelajaran fis*** yang bikin aku nangis gara" dua pilihan (1. nilaiQ dan 2 temanku terancam hancur karena 2teman didikku yang lain yang ga pernah mau ikut belajar klmpk, itu kalo aku tetep ga coret mereka dari daftar teman yang aku ajarin, pilihan kedua 2. kalo aku coret mereka temen" bakal musuhin aku, karena dikira aku egois) dan setelah aku konsultasi ma gurunya, tau jawabannya gimana????? "ya itu resiko kelompok kamu... HALOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!!!! saya disini juga murid lhooooooo, saya juga bayar_sama kayak mereka, tapi kenapa saya dikasih bebabn kaya gini dan terancam nilai dikurangi kalau ga berhasil????????? hahhh.... percuma belajar fis***, MALES!!!! sebagus"nya nilai gue tetep dikurangi.... damn!!!!!!
kesialan ke-2, Hp baruQ jatoh
sabtu_ada ulangan pelajaran kim"** yang susahnya kagak ketulungan, pulang sekolah berantem hebat ma si dia....
minggu_KELABUUUUUUUUUUUUUUU.....
hahahaha
gokil!!!!!